Kamis, 22 Agustus 2013

Spacecraft capture an Earth-directed coronal mass ejection

On August 20, 2013, at 4:24 a.m. EDT, the Sun erupted with an Earth-directed coronal mass ejection (CME), a solar phenomenon which can send billions of tons of particles into space that can reach Earth one to three days later. These particles cannot travel through the atmosphere to harm humans on Earth, but they can affect electronic systems in satellites and on the ground.

Experimental NASA research models, based on observations from NASA’s Solar Terrestrial Relations Observatory, show that the CME left the Sun at speeds of around 570 miles per second (920 km/s), which is a fairly typical speed for CMEs.

Earth-directed CMEs can cause a space weather phenomenon called a geomagnetic storm, which occurs when they funnel energy into Earth's magnetic envelope, the magnetosphere, for an extended period of time. The CME’s magnetic fields peel back the outermost layers of Earth's fields, changing their very shape. In the past, geomagnetic storms caused by CMEs of this strength have usually been mild.

Magnetic storms can degrade communication signals and cause unexpected electrical surges in power grids. They also can cause aurorae.


http://www.astronomy.com/en/News-Observing/News/2013/08/Spacecraft%20capture%20an%20Earth%20directed%20coronal%20mass%20ejection.aspx

Perkembangan Terbaru Dalam Teknology Antibodi

Antibodi adalah bagian pertahanan tubuh yang digunakan untuk
menghilangkan atau mengurangi zat asing yang masuk ke dalam tubuh.
Mekanisme kerja antibodi dalam tubuh dimulai dengan diikatnya epitope (bagian
antigen) oleh antibodi. Ikatan ini akan membentuk kompleks antigen-antibodi
yang berukuran besar dan akhirnya mengendap. Kompleks antigen-antibodi ini
juga dapat dikenali oleh sel makrofag, yang akan mendegradasi kompleks ini.
Pada perkembangannya antibodi banyak digunakan sebagai alat deteksi
di bidang klinis dan biomedisinal. Deteksi ini dapat berupa deteksi protein atau deteksi mikroorganisme. Sebagai contoh penentuan golongan darah, penentuan
jumlah mikroorganisme menggunakan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) atau penentuan ukuran protein menggunakan teknik western bloth


China Membangun Baterai Terbesar di Dunia

Beberapa waktu lalu China baru saja meresmikan salah satu gedung pusat energinya di provinsi Hebei, yaitu sebuah baterai raksasa seukuran gedung. Baterai terbesar di dunia tersebut berkapasitas 36 Megawatt-Jam. Baterai ini seperti UPS di komputer, ia juga akan berfungsi sebagai energi cadangan jika pembangkit atau jaringan listrik mengalami kerusakan.
Baterai terbesar di dunia tersebut cukup untuk mengaliri listrik sebanyak 12.000 rumah. Perkembangan iptek senilai $ 500.000.000 ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi energi listrik di wilayah ini hingga 10 persen.
Baterai yang terletak di Zhangbei ini bukan hanya berada di bangunan yang berdiri sendiri. Pusat cadangan catu daya ini terhubung ke pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga matahari berkekuatan 140 megawatt dengan sistem transmisi smart-grid. Pemasangan baterai raksasa ini dapat diharapkan dapat menghasilkan energi listrik yang kontinyu dari dua tipe pembangkit listrik  yang “murah dan ramah lingkungan” tersebut (tenaga surya dan angin). Seperti yang kita ketahui, dua jenis pembangkit listrik ini memiliki output yang tidak stabil, misalnya pada saat malam atau pada saat kecepatan angin rendah.
Deputi Direktur Energi Nasional China menyebut sistem ini sebagai future-model bagi pengembangan energi listrik dan perkembangan iptek secara umum di China, yang berarti mungkin akan menjadi fasilitas pertama pembangkit listrik ramah lingkungan yang melibatkan baterai di dunia.
Sudah banyak penelitian yang melibatkan penyimpanan energi (semacam baterai) untuk menghasilkan energi listrik yang stabil dari angin dan tenaga surya, dan China patut diacungi jempol karena merekalah yang pertama kali ‘berani’ mewujudkan hasil penelitian tersebut secara besar-besaran. Bagaimana dengan Indonesia?